Di
zaman Rasulullah dulu, ada seorang sahabat yang ingin berperang, dan
berpesan kepada istrinya untuk tak meninggalkan rumah selama dia tak
ada.
Istri sahabat ini berjanji patuh. Namun, nasib memang susah diduga.
Berselang hari, datang seorang utusan dari keluarganya, dan mengabarkan tentang ibunya yang sakit keras, dan mengharap kedatangan si istri.
Si istri ini, dengan meminta maaf, berkata tak dapat hadir. Suaminya tak ada di rumah, dan dia telah berjanji untuk patuh pada pesan suami, tak akan meninggalkan rumah. Si utusan paham.
Sehari kemudian, utusan itu datang lagi, mengabarkan si ibu sakitnya kian menjadi. Si istri tetap kukuh, dan tak ingin ingkar janji.
Keesokan lagi, si utusan datang, dengan wajah yang pucat. Dia mengabarkan, si ibu telah berpulang, dan sampai akhir hidupnya, dia tak melihat wajah anaknya.
Si istri menangis, tapi dia tak berani menghadiri pemakaman itu. Dia harus patuh pada suaminya.
Lama setelah peristiwa itu, bertanyalah sahabat kepada Rasulullah atas peristiwa itu. Mereka sebagian "mencela" kepatutan sang istri pada suami. Tapi apa kata Rasulullah? "Karena kepatuhan istrinya itulah, ibunya kini telah berada di syurga." Sungguh kisah yang luar biasa.Subhanallah !!
Dari cerita ini..maka ulama sepakat mengatakan. :
"Jika seorag anak surga dibawah telapak kaki ibu..namun ketika telah bersuami..maka surga seorang istri..tergantung ridho suaminya.."
Jadi ibu, patuh pada suami memang wajib hukumnya. Namun, kepatuhan itu bersyarat. Syarat itu tentu tidak bertentangan dengan agama kita. Kedua, kepatuhan itu juga wajib untuk suami yang seagama dengan kita. Dan ketiga, kepatuhan itu wajib sepanjang suami berada di jalan yang benar.
Menyangkut cerita ibu, memang agak dilematis. Suami keras, ibu juga. Patuh pada suami wajib, pada ibu apalagi. Namun, jika tidak bisa didamaikan, jd ibu dapat membandingkan tingkat kesalehan ibu dan suami. Jika suami selama ini memang mampu menjadi imam dalam keluarga, dan "kekerasan" dia pada mertua adalah sikap yang wajar dan bukan merupakan kedurhakaan, ibu dapat mematuhinya. Namun jika suami ibu belum mampu menjadi imam di dalam keluarga, tidak mencukupi kewajibannya sebagai suami dan ayah bagi anak ibu, perintahnya tentu dapat ibu nilai sesuai dengan nurani atau hanya merupakan luapan emosi atau dendam karena dulu tak mendapat restu.
Ibu juga dapat melakukan hal yang sama pada ibu Anda. Nilailah ketaatannya kepada Allah. Nilailah apakah "perselisihan" mereka hanya urusan-urusan kecil atau menyangkut masalah prinsip. Ibu dapat melihat mana yang lebih dapat ibu ajak bicara, suami atau ibu Anda. Mana yang dapat ibu jadikan teladan. Dan ibu harus jujur, jangan karena dia melahirkan Anda, maka Anda berpihak padanya, atau karena dia ayah anak-anak ibu pun membelanya. Kejujuran penilaian ibu akan membuat sikap ibu punya nilai di mata Allah.
Selebihnya marilah berdoa pada Allah. Ajak suami berdoa agar Allah membuka pintu hari ibu Anda dan menerima dapat kehadirannya. Ajak ibu Anda berdoa agar percaya bahwa suami Anda dapat membuatnya bangga.
http://www.facebook.com/von.edison.alouisci
Istri sahabat ini berjanji patuh. Namun, nasib memang susah diduga.
Berselang hari, datang seorang utusan dari keluarganya, dan mengabarkan tentang ibunya yang sakit keras, dan mengharap kedatangan si istri.
Si istri ini, dengan meminta maaf, berkata tak dapat hadir. Suaminya tak ada di rumah, dan dia telah berjanji untuk patuh pada pesan suami, tak akan meninggalkan rumah. Si utusan paham.
Sehari kemudian, utusan itu datang lagi, mengabarkan si ibu sakitnya kian menjadi. Si istri tetap kukuh, dan tak ingin ingkar janji.
Keesokan lagi, si utusan datang, dengan wajah yang pucat. Dia mengabarkan, si ibu telah berpulang, dan sampai akhir hidupnya, dia tak melihat wajah anaknya.
Si istri menangis, tapi dia tak berani menghadiri pemakaman itu. Dia harus patuh pada suaminya.
Lama setelah peristiwa itu, bertanyalah sahabat kepada Rasulullah atas peristiwa itu. Mereka sebagian "mencela" kepatutan sang istri pada suami. Tapi apa kata Rasulullah? "Karena kepatuhan istrinya itulah, ibunya kini telah berada di syurga." Sungguh kisah yang luar biasa.Subhanallah !!
Dari cerita ini..maka ulama sepakat mengatakan. :
"Jika seorag anak surga dibawah telapak kaki ibu..namun ketika telah bersuami..maka surga seorang istri..tergantung ridho suaminya.."
Jadi ibu, patuh pada suami memang wajib hukumnya. Namun, kepatuhan itu bersyarat. Syarat itu tentu tidak bertentangan dengan agama kita. Kedua, kepatuhan itu juga wajib untuk suami yang seagama dengan kita. Dan ketiga, kepatuhan itu wajib sepanjang suami berada di jalan yang benar.
Menyangkut cerita ibu, memang agak dilematis. Suami keras, ibu juga. Patuh pada suami wajib, pada ibu apalagi. Namun, jika tidak bisa didamaikan, jd ibu dapat membandingkan tingkat kesalehan ibu dan suami. Jika suami selama ini memang mampu menjadi imam dalam keluarga, dan "kekerasan" dia pada mertua adalah sikap yang wajar dan bukan merupakan kedurhakaan, ibu dapat mematuhinya. Namun jika suami ibu belum mampu menjadi imam di dalam keluarga, tidak mencukupi kewajibannya sebagai suami dan ayah bagi anak ibu, perintahnya tentu dapat ibu nilai sesuai dengan nurani atau hanya merupakan luapan emosi atau dendam karena dulu tak mendapat restu.
Ibu juga dapat melakukan hal yang sama pada ibu Anda. Nilailah ketaatannya kepada Allah. Nilailah apakah "perselisihan" mereka hanya urusan-urusan kecil atau menyangkut masalah prinsip. Ibu dapat melihat mana yang lebih dapat ibu ajak bicara, suami atau ibu Anda. Mana yang dapat ibu jadikan teladan. Dan ibu harus jujur, jangan karena dia melahirkan Anda, maka Anda berpihak padanya, atau karena dia ayah anak-anak ibu pun membelanya. Kejujuran penilaian ibu akan membuat sikap ibu punya nilai di mata Allah.
Selebihnya marilah berdoa pada Allah. Ajak suami berdoa agar Allah membuka pintu hari ibu Anda dan menerima dapat kehadirannya. Ajak ibu Anda berdoa agar percaya bahwa suami Anda dapat membuatnya bangga.
http://www.facebook.com/von.edison.alouisci